
Oleh Hj. Siti Arifah, Ketua DPC Perempuan Bangsa Kabupaten Probolinggo & Khodimah Ma’had PP Al-Ihsan Assalafi Kerpangan-Leces
Sangat disayangkan, sebuah stasiun televisi nasional sekelas Trans7 menayangkan konten yang mengandung narasi kebencian dan fitnah terhadap dunia pesantren. Tayangan semacam itu jelas mencederai nilai-nilai luhur, adab, dan budaya pesantren yang selama ini menjadi benteng moral bangsa. Lebih dari sekadar persoalan etika media, konten tersebut berpotensi menimbulkan perpecahan sosial serta mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyiaran nasional.
Bagi kami, tayangan itu bukanlah bentuk kritik konstruktif. Sebaliknya, ia tampak sebagai upaya untuk menghina dan merendahkan marwah pesantren, bahkan mencemarkan nama baik para ulama yang selama ini menjadi panutan umat. Kritik seharusnya membangun, berbasis data, dan menghormati nilai-nilai agama serta kearifan lokal—bukan justru memantik amarah dan luka di hati jutaan santri di seluruh penjuru negeri.
Sebagai media publik, televisi memiliki tanggung jawab moral untuk memperkuat nilai-nilai toleransi, pendidikan, dan persatuan bangsa. Media seharusnya menjadi ruang pembelajaran sosial, bukan panggung provokasi yang menyebarkan kebencian dan permusuhan. Masyarakat kini haus akan tontonan yang menyejukkan dan mencerdaskan, bukan tayangan yang menyinggung keimanan dan menghina simbol-simbol keagamaan.
Kami para santri, khodimah pesantren, dan masyarakat pesantren secara umum, menilai bahwa apa yang ditampilkan oleh Trans7 adalah bentuk kelalaian etis dan profesionalitas jurnalistik. Karena itu, sudah sepantasnya lembaga penyiaran publik melakukan introspeksi dan meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam, khususnya kalangan pesantren dan para ulama yang telah disakiti perasaannya.
Pesantren bukanlah objek olok-olok, melainkan sumber ilmu, akhlak, dan peradaban. Di pesantren, santri dididik untuk mencintai tanah air, menghormati sesama, dan menjaga keutuhan bangsa. Maka ketika marwah pesantren dinodai, sesungguhnya yang disakiti bukan hanya santri, tetapi roh moral bangsa Indonesia itu sendiri
Kami berharap ke depan, seluruh media nasional lebih berhati-hati dalam mengemas konten dan narasi publik. Karena setiap kata, setiap adegan yang ditayangkan di layar kaca, dapat menjadi pisau yang melukai atau cahaya yang menerangi hati masyarakat.
Sudah saatnya televisi kembali pada hakikatnya: menjadi cermin kebenaran, jembatan edukasi, dan penjaga persatuan bangsa.